HUKUM LAUT INTERNASIONAL
1. Pentingnya Hukum Laut Internasional
Pentingnya laut dalam hubungan antar bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sumber tenaga. Di samping itu hukum laut juga mengatur kompetisi antara negara-negara dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara negara-negara maju dan berkembang.
2. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III 1982
a. Sejarah UNCLOS III
Setelah kegagalan UNCLOS I (1958) dan II (1960) dalam menentukan lebar laut teritorial, maka sejak itu banyak negara mulai kasak-kusuk untuk mendesak segera diadakannya konferensi lanjutan. Banyak resolusi-resolusi diajukan untuk segera diadakan konferensi tentang hukum laut. USA, Rep.Dominika, Brazil, Trinidad&Tobago termasuk yang mengajukan resolusi. Indonesia dan 6 negara anggota PBB (Ecuador, Guyana, Peru, Jamaica, Kenya dan Siera Lione) mengajukan resolusi agar konferensi hukum laut diselenggarakan pada permulaan tahun 1973. Dari resolusi-resolusi tersebut, disponsori 25 negara (termasuk Indonesia), diperkenalkan Teks keempat yang intinya menghendaki diadakannya suatu konferensi hukum laut di dalam tahun 1973. Resolusi tersebut memutuskan Sea-bed Committee untuk bertindak sebagai Komite Persiapan untuk konferensi yang akan datang.
Majelis Umum PBB dengan No.3067 tanggal 16 November 1973 menetapkan bahwa konferensi hukum laut akan diadakan tahun 1973 dan menentukan pula bahwa konferensi harus meninjau seluruh aspek hukum laut termasuk eksploitasi SDA dan kawasan dasar laut internasional. Perlu dicatat tentang tata cara pengambilan keputusan dalam konferensi menggunakan “gentleman’s agreement” maksudnya bahwa konferensi seharusnya berusaha keras untuk mencapai persetujuan dengan konsensus, dan tidak ada voting atas masalah tersebut sampai segala usaha untuk mencapai konsensus telah dilakukan.
b. The Convention
Pada akhir tahun 1973 UNCLOS III mulai bersidang, dimulai dengan mengatur organisasi persidangan, prosedur untuk menciptakan paket hukum laut yang kohesif. Karena banyaknya peserta, maka sidang mempergunakan kelompok kerja. Kelompok kerja didirikan atas dasar kepentingan-kepentingan isu-isu tertentu. Dalam hal ini negara-negara tidak bergabung dalam persekutuan regional/politik, melainkan mengelompokkan diri untuk membicarakan isu-isu khusus untuk membela kepentingan negara mereka. Misalnya negara pantai menghendaki aturan yang memberi dasar hukum pada mereka untuk memanfaatkan sumber mineral dan biologis dalam wilayah yurisdiksi mereka. Negara kepulauan ingin memperoleh pengakuan untuk wawasan baru dari perairan kepulauan. Negara daratan ingin mencari aturan hak transit dan untuk memanfaatkan SDA laut negara tetangga. Negara industrial menginginkan garansi diperbolehkannya mengelola sumber mineral dasar laut di luar batas yurisdiksi nasional mereka, negara berkembang menginginkan adanya alih teknologi kelautan dari negara maju. Negara yang berbatasan dengan selat ingin jaminan kapal asing yang lewat wilayahnya tidak merusak lingkungan laut dan mengancam keamanan mereka.
Dalam konvensi dibentuk organisasi yang terdiri dari:
1. Komite Kredensial;
2. Steering Committee;
3. Drafting Committee; bertugas meneliti segi-segi teknis dari berbagai rancangan dan konsep dan mengusahakan penyatuan dan persamaan dari teks yang berasal dari berbagai bahasa.
4. Tiga komite utama guna menangani isu-isu pokok.
Tiga komite utama yaitu: Komite Satu, menangani masalah pengaturan internasional dan ketentuan-ketentuan tentang eksploitasi dari kawasan dasar laut internasional dan sumber-sumber kekayaan alamnya. Komite Dua, menangani aspek-aspek hukum laut seperti laut teritorial, zona tambahan, ZEE, selat-selat, laut lepas negara daratan, negara kepulauan dan batas maritim. Komite Tiga, menangani masalah lingkungan maritim, riset ilmiah dan alih teknologi kelautan. Untuk masalah dispute resolution, ketentuan umum dan klausula penutup dibicarakan oleh suatu sidang yang diketuai oleh Presiden Konferensi.
Presiden Konferensi membentuk suatu KOLEGIA bersama ketua 3 komite serta ketua Drafting Committee dan Rapporteur General dalam meninjau berbagai kemajuan konferensi dan memberikan rekomendasi yang dipandang perlu. Pada sidang ketiga di Geneva 1975, diputuskan bahwa setiap ketua komite harus mempersiapkan Informal Single Negotiating Text (SNT). Mei 1976 keluar revisi SNT (RSNT). Bulan Juli 1977 dipersiapkan suatu Informal Composite Negotiating Text (ICNT) oleh kolegia di bawah pimpinan Presiden konferensi. April 1978 dibentuklah 7 kelompok pembahasan ICNT yang dikenal sebagai Negotiating Group 1 to 7 (NG 1-7). Setelah 3 kali revisi, 29 Agustus 1981 ICNT revisi ke-3 diresmikan sebagai dokumen resmi konferensi dengan nama Draft Convention on The Law of The Sea. Draft Convention bersama-sama dengan 4 resolusi (lihat keterangan di bawah) diterima pada tanggal 30 April 1982 dan terbuka untuk ditandatangani tanggal 10 Desember 1982, adalah suatu himpunan peraturan hukum laut yang panjang terdiri dari 320 pasal, 17 bagian dan 9 annex (lampiran). Konvensi ini ditandatangani 119 negara.
Keterangan
1). Sidang UNCLOS III:
Sidang Pertama, 3 – 15 Desember 1973 di New York;
Sidang Kedua, 20 Juni – 29 Agustus 1974 di Caracas;
Sidang Ketiga, 17 Maret – 9 Mei 1975 di Geneva;
Sidang Keempat, 15 Maret- 7 Mei 1976 di New York;
Sidang Kelima, 2 Agustus – 17 September 1976 di New York;
Sidang Keenam, 23 Mei – 15 Juli 1977 di New York;
Sidang Ketujuh, 28 Maret – 19 Mei 1978 di Geneva serta 21 Agustus – 15 September 1978 di New York;
Sidang Kedelapan, 19 Maret – 27 April 1979 di Geneva serta 16 Juli – 24 Agustus 1979 di New York;
Sidang Kesembilan, 27 Februari – 3 April 1980 di New York serta 28 Juli – 29 Agustus 1980 di Geneva;
Sidang Kesepuluh, 7 Maret -17 Maret 1981 di New York;
Sidang kesebelas, 22 – 24 September 1982 di New York dan 6 – 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica.
2). 4 resolusi:
Resolusi I, menetapkan pembentukan Komisi persiapan untuk Otoritas Dasar Laut dan Mahkamah Hukum Laut;
Resolusi II, mengatur penanaman modal persiapan dalam kaitan aktivitas-aktivitas perintis oleh negara-negara dan konsorsium-konsorsium swasta yang berkenaan dengan nodul-nodul polymetallic di kawasan laut laut dalam;
Resolusi III, berkenaan dengan hak-hak dan kepentingan-kepentingan wilayah-wilayah yang belum memperoleh kemerdekaan atau belum memiliki pemerintahan sendiri;
Resolusi IV, memberikan hak kepada gerakan gerakan kemerdekaan/pembebasan nasional yang telah diakui untuk menandatangani Final Act sebagai peninjau.
c. Garis Besar UNCLOS III
Pada dasarnya UNCLOS III menghasilkan peraturan tentang: laut teritorial, zona tambahan, selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, perairan negara kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut lepas, perbudakan (slavery), pembajakan (piracy), perdagangan narkotika dan psikotropika, penyiaran gelap dari laut lepas, pengejaran seketika (hot pursuit), kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati, pulau-pulau, laut tertutup atau setengah tertutup, hak negara daratan untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit, kawasan dasar laut dan dasar samudera dan tanah di bawahnya, pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup, riset ilmu kelautan, pengembangan dan alih teknologi, dan penyelesaian sengketa-sengketa. Untuk batas laut teritorial sejauh tidak lebih 12 mil diatur dalam Pasal 3-7.
Indonesia memberikan satu rancangan khusus yang diterima dalam konvensi mengenai negara kepulauan (Pasal 46-54). Indonesia telah meratifikasi UNCLOS III melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 tanggal 31 Desember 1985 dan piagam ratifikasinya telah didepositkan pada Sekretaris Jenderal PBB tanggal 3 Februari 1986.
3. Laut Lepas
Pasal 86 Konvensi menyatakan bahwa “The provisions of this Part apply to all parts of the sea that are not included in the exclusive economic zone, in territorial sea or in the internal waters of a state, or in the archipelagic waters of on archipelagic state. This article does not entail any abridgement of the freedoms enjoyed by all states in the exclusive economics zone in accordance with article 58”. (laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan)
Pokok bahasan utama dalam laut lepas adalah:
1. Prinsip kebebebasan di laut lepas
2. Status hukum kapal-kapal di laut lepas
3. Pengawasan-pengawasan di laut lepas
Add 1. Menurut Pasal 87 Konvensi kebebasan di laut lepas meliputi:
a) Freedom of navigation – kebebasan berlayar.
b) Freedom of overflight – kebebasan penerbangan.
c) Freedom to lay submarine cables and pipelines, subject to Part VI – kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan Bab VI Konvensi.
d) Freedom to construct artificial islands and other installations permitted under international law, subject to part VI – kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, dengan tunduk pada Bab VI.
e) Freedom of fishing, subject to the conditions laid down in section 2 – kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam Sub.Bab II.
f) Freedom of scientific research, subject to parts VI and XIII – kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan XIII.
Lebih daripada itu, laut lepas hanya digunakan untuk tujuan-tujuan damai (Pasal 88).
Add 2. Untuk mempelajari status hukum kapal-kapal di laut lepas, maka harus ada pembedaan antara kapal publik dengan kapal swasta karena status hukumnya berbeda. Perbedaan ini didasarkan atas bentuk penggunaan dari kapal tersebut. Kapal-kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan untuk tujuan swasta. Termasuk kapal publik antara lain: kapal perang (Pasal 29), kapal-kapal publik non-militer (kapal riset ilmiah, kapal logistik pemerintah dll), kapal organisasi internasional (Pasal 93), kapal-kapal dagang (bergantung penggunaan).
Di laut lepas, semua kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan dan ketentuan negara bendera (Pasal 92). Karena suatu kapal berbendera negara dianggap floating portion of the flag state yaitu bagian terapung wilayah negara bendera. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi kapal swasta yang telah meninggalkan laut lepas dan masuk laut wilayah suatu negara, wewenangnya bukan negara bendera lagi tetapi sudah merupakan wewenang negara pantai. Kecuali untuk kapal publik secara umum dapat dikatakan bahwa baik di laut lepas maupun laut wilayah, wewenang khusus negara bendera tetap berlaku. Dalam Pasal 91 Konvensi mengatakan bahwa setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaan pada kapal, pendaftaran kapal dalam wilayah dan untuk hak mengibarkan bendera. Dikuatkan dalam Pasal 94 bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya. Untuk kapal swasta, selain bendera negara perlu dilengkapi dengan bukti-bukti yang dinamakan papiers de bord yang terdiri dari 2 macam yaitu:
1. Mengenai kapal dan anak buahnya, misalnya: kebangsaan, identitas kapal, surat jalan, livre de bord;
2. Mengenai muatan kapal, misalnya: manifest, connaissement dll.
Jika terjadi suatu suatu insiden di laut lepas pasal 97 (1) menyatakan “bila terjadi suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal di laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang tersebut kecuali di hadapan pejabat-pejabat hukum atau administratif negara bendera atau di negara dari mana orang-orang itu berkebangsaan”.
Add 3. Terbagi atas pengawasan umum dan pengawasan khusus.
1. Pengawasan umum
Pemeriksaan kapal; ada dalam Pasal 110 konvensi yang menyatakan “suatu kapal perang yang menjumpai suatu kapal asing di laut lepas tidak dibenarkan untuk menaikinya, kecuali kalau ada alasan cukup untuk menduga bahwa kapal itu terlibat dalam pembajakan, perdagangan budak penyiaran gelap dll.” Pasal 110 (3) menyatakan “Selanjutnya juga ditekankan bahwa bila kecurigaan tersebut tidak beralasan, kapal tersebut akan menerima imbalan untuk setiap kerugian atau kerusakan yang mungkin dialami”.
2. Pengawasan khusus
a. Pemberantasan perdagangan budak belian (Pasal 99).
b. Pemberantasan bajak laut (Pasal 101 dan 102).
c. Pengawasan penangkapan ikan (Pasal 117).
d. Pengawasan untuk melindungi kabel dan pipa bawah laut (Pasal 113,114 dan 115).
e. Pemberantasan pencemaran laut (Pasal 192 – 237).
f. Pengawasan untuk kepentingan sendiri negara-negara (hot pursuit dan hak bela diri).
4. Laut Wilayah/Laut Teritorial
Laut wilayah atau teritorial berhubungan dengan kedaulatan (sovereignty) suatu negara. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 menyatakan ”kedaulatan suatu negara dapat melampaui daratan dan perairan pedalamannya sampai kepada suatu jalur laut yang berbatasan dengan pantai negara tersebut yang dinamakan laut wilayah”. Sementara itu, Pasal 2 Konvensi 1982 menyatakan ”kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam suatu hal negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial”.Kedaulatan ini menyambung ke ruang udara di atas laut teritorial, demikian pula ke dasar lautan dan tanah di bawahnya.
Lebar laut teritorial diatur dalam Pasal 3-7. Pasal 3 berbunyi “every state has the right to establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical miles, measured from baselines determined in accordance with this convention” (lebar laut teritorial tidak boleh lebih dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal). Pasal 8 mengatur tentang perairan kepulauan (internal waters). Pasal 9 berkaitan dengan mulut sungai. Pasal 10 berkaitan dengan teluk-teluk pada pantai milik negara pantai. Pasal 11-13 berkenaan dengan instalasi pelabuhan, tempat berlabuh di tangah laut dan elevasi surut. Pasal 15 mengatur penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Pasal 17-32 mengatur mengenai lintas damai di laut teritorial.
Sehubungan dengan kedaulatan, negara pantai mempunyai wewenang atas laut teritorialnya, wewenang tersebut antara lain:
a. Wewenang terhadap kapal-kapal asing;
b. Wewenang untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengawasan;
c. Pengawasan di bidang duane, bea dan cukai;
d. Hak untuk menangkap ikan, hak-hak untuk mendirikan zona pertahanan;
e. Hak pengejaran seketika (hot pursuit).
5. Zona Tambahan
Zona tambahan dapatlah dikatakan merupakan zona transisi antara laut lepas dan laut wilayah. Menurut Pasal 33 ayat (2), zona tambahan tidak dapat melebihi dari 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut wilayah diukur, lebar laut wilayah 12 mil, maka dengan sendirinya lebar zona tambahan 24 mil dikurangi 12 mil sama dengan 12 mil.
Mengenai wewenang negara pantai atas zona tambahan, Pasal 33 ayat (1) menjelaskan bahwa negara-negara pantai dapat melaksanakan pengawasan-pengawasan yang perlu untuk mencegah pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya. Pengawasan ini dapat dilengkapi dengan tindakan-tindakan pemberantasan dan negara pantai dapat menghukum para pelanggar peraturan perundang-undangan tersebut.
6. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) / Exclusive Economic Zone
Lebar ZEE diatur dalam Pasal 57 yang menyebutkan bahwa “ The exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured” (Lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut wilayah teritorial diukur).
Pasal 56 konvensi memberi hak-hak negara pantai di ZEE, antara lain:
a. Hak berdaulat (souvereign right) untuk mengadakan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengurusan dari sumber kekayaan alam hayati atau non-hayati dari perairan, dasar laut dan tanah bawah;
b. Hak berdaulat atas atas kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seperti produksi energi dari air dan angin;
c. Yurisdiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset dan ilmiah kelautan, perlindungan dan pembinaan lingkungan maritim.
Di dalam melaksanakan hak-hak dan kewajibannya menurut konvensi, negara pantai harus memperhatikan hak-hak dan kewajiban negara lain dan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi. Di samping itu, negara pantai memiliki hak penegakan hukum dan perundang-undangannya seperti dalam Pasal 73 konvensi, dalam melaksanakan hak-hak berdaulat di atas, negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu seperti pemeriksaan, penangkapan kapal-kapal maupun melakukan proses peradilan terhadap kapal-kapal yang melanggar ketentuan yang dibuat negara pantai. Negara pantai juga diwajibkan untuk mengumumkan dan menerbitkan secara internasional tentang wilayah-wilayah ZEE-nya (Pasal 75 Konvensi).
Bagaimana dengan negara yang tidak berpantai? Apakah negara-negara lain berhak juga dalam pemanfaatan ZEE?
Prinsip keadilan dipakai untuk menjawab pertanyaan di atas. Pasal 69 konvensi mengatur bahwa negara-negara tak berpantai juga diberi hak untuk memanfaatkan ZEE. Pasal 58 konvensi menyebutkan hak-hak negara lain di ZEE antara lain:
a. kebebasan pelayaran dan penerbangan;
b. kebebasan meletakkan kabel dan pipa di bawah laut dan pemakaian laut lainnya yang dibenarkan secara internasional.
Tentunya tidak sembarangan saja negara tak berpantai atau negara lain ini memanfaatkan ZEE, tetapi diatur oleh ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh negara pantai dan negara lain yang dirumuskan dalam perjanjian bilateral atau multilateral atas dasar yang adil.
7. Landas Kontinen / Continental Shelf
Definisi landas kontinen ada dalam Pasal 76 Konvensi, “landas kontinen terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya yang menyambung dari laut teritorial dari negara pantai, melalui kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai kepada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur”. Di samping itu, Konvensi Hukum Laut 1982 juga memberikan suatu pembatasan, yaitu bahwa landas kontinen tidak dapat melebihi 350 mil laut (Pasal 76 ayat 6).
Jadi sesuai ketentuan di atas, maka lebar landas kontinen adalah sebagai berikut:
- Negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya kurang dari 200 mil, lebar landas kontinen negara tersebut diperbolehkan sejauh 200 mil dari pantai.
- Negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya lebih lebar dari 200 mil dari garis pangkal dapat memperoleh landas kontinen sejauh pinggiran luar tepi kontinen tersebut.
Hak dan kewajiban negara pantai di landas kontinen hampir sama dengan hak dan kewajiban di ZEE. Negara pantai mempunyai kedaulatan atas dasar laut dan tanah bawah dari landas kontinen, termasuk di dalamnya hak eksklusif untuk mengatur segala sesuatu yang bertalian dengan eksploitasi sumber-sumber alam seperti pemboran minyak dan hak atas sumber-sumber hayati laut (Pasal 77). Hak negara pantai atas landas kontinen tidaklah merubah status hukum perairan di atasnya atau udara di atas perairan tersebut (Pasal 78).
8. Negara Kepulauan
Untuk memahami konsepsi negara kepulauan, ada baiknya jika melihat sekilas pemaparan tentang sejarah kewilayahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengapa Indonesia? Dapat dikatakan lahirnya konsep negara kepulauan adalah berkat prakarsa dan perjuangan internasional dari Indonesia. Untuk lebih jelasnya, simaklah sekelumit sejarah berikut ini.
Secara historis perkembangan wilayah Indonesia melewati beberapa masa, yaitu:
a. Sejak 17-8-1945 sampai dengan 13-12-1957
Wilayah Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan masing mengikuti ketentuan dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie” tahun 1939. Berdasarkan ordonantie tersebut, batas wilayah laut territorial sejauh 3 mil dari garis pantai ketika surut, dengan asas pulau demi pulau secara terpisah-pisah.
Pada masa tersebut wilayah negara Republik Indonesia bertumpu pada wilayah daratan pulau-pulau yang saling terpisah oleh perairan atau selat di antara pulau-pulau itu. Wilayah laut territorial masih sangat sedikit karena setiap pulau hanya ditambah perairan sejauh 3 mil di sekelilingnya. Sebagian besar wilayah perairan dalam pulau-pulau merupakan perairan bebas. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara kesatuan RI.
b. Dari Deklarasi Juanda (13-12-1957) sampai dengan 17-2-1969
Pada tanggal 13 Desember 1957 Deklarasi Juanda yang dinyatakan sebagai pengganti Ordonantie 1939 yang berbunyi: “…berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia,…”
Tujuan dari dikeluarkannya Deklarasi Juanda ini adalah:
1). Perwujudan bentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat.
2). Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia di sesuaikan dengan asas negara kepulauan (Archipelagic State Principles).
3). Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asas kepulauan itu mengikuti ketentuan Yurisprudensi Mahkamah Internasional pada Tahun 1951 ketika menyelesaikan kasus perbatasan antara Inggris dan Norwegia. Untuk mengukuhkan Deklarasi Juanda dan asas negara kepulauan ini, ditetapkanlah Undang-undang Nomor: 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, maka sejak itu berubahlah luas wilayah dari + 2 juta km2 menjadi + 5 juta km2, dimana + 65% wilayahnya terdiri dari laut/perairan.
c. Dari 17-2-1969 (Deklarasi Landas Kontinen) sampai sekarang
Deklarasi tentang Landas Kontinen RI merupakan konsep politik yang berdasarkan konsep wilayah. Asas-asas pokok yang termuat di dalam Deklarasi tentang Landas Kontinen adalah sebagai berikut:
1). Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara RI.
2). Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan.
3). Jika tidak ada garis batas, maka landas kontinen adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan wilayah terluar negara tetangga.
4). Klaim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas landas kontinen Indonesia maupun udara di atasnya.
Demi kepastian hukum dan untuk melindungi kebijaksanaan pemerintah, asas-asas pokok tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Selain itu, pada tanggal 21 Maret 1980, Pemerintah RI mengeluarkan pengumuman tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Pada akhirnya, konsep keutuhan wilayah NKRI yang dicetuskan dalam Deklarasi Juanda, setelah perjuangan yang rumit dan panjang di forum internasional, akhirnya melalui Konferensi PBB tentang Hukum Laut III (The United Nations Convention on The Law of The Sea-UNCLOS III-UNCLOS 1982) yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica oleh 117 negara termasuk Indonesia, konsepsi negara kepulauan (Archipelagic State Principles) diakui dan dicantumkan dalam konvensi tersebut. Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 pada tanggal 31 Desember 1985.
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur archipelagic states ini dalam Pasal 46-54. Pasal 46 (a) menyebutkan bahwa negara kepulauan adalah negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya, Pasal 46 (b) menyebutkan yang dimaksud dengan kepulauan (archipelago) adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya, sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian.
Konsepsi negara kepulauan, pada saat ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang berarti “segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah RI sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan RI.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, membagi 3 wilayah perairan Indonesia:
1. Laut teritorial: adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
2. Perairan Kepulauan: adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
3. Perairan Pedalaman: adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari garis-garis penutup.
Perairan pedalaman ini terbagi 2 yaitu:
a. Laut Pedalaman: adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah.
b. Perairan Daratan: segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah.
Sampai saat ini, UU terakhir yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI sehubungan dengan kewilayahan adalah UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, secara substansi, UU ini lebih lengkap daripada UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, karena yang diatur dalam UU Nomor 43 Tahun 2008 bukan hanya wilayah perairan saja, tetapi juga wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

0 Response to "HUKUM LAUT INTERNASIONAL "
Post a Comment