Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda


Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (both Contracting States). Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Dengan kata lain, pencegahan pajak berganda dalam P3B diatur dengan membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah juridiksinya. Apabila pengenaan pajak berganda dapat dihindari seminimal mungkin, maka diharapkan dapat mencegah timbulnya efek negatif yaitu distorsi dalam transaksi internasional. Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu : 


1. Mencegah timbulnya pengelakan pajak 



2. Memberikan kepastian hukum. 



3. Pertukaran informasi. 



4. Penyelesain sengketa di dalam penerapan P3B. 



5. Non diskriminasi. 



6. Bantuan dalam penagihan pajak. 



7. Penghematan dalam cash flow. 


Pada umumnya P3B dimaksudkan sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara. Hal ini dimungkinkan dengan mencegah timbulnya pajak berganda, penyeludupan pajak, dan memberikan kepastian hukum dan insentif pajak berupa penghematan pajak berupa penghematan dalam cash flow bagi penduduk dari kedua negara pihak pada persetujuan yang melakukan transaksi internasional. Persetujuan ini mengakomodasi ketentuan yang memberikan perlindungan bagi penduduk dari suatu negara pihak pada persetujuan yang melakukan usaha di negara pihak lainnya pada persetujuan (the other Contracting States). Perlindungan dimaksud berupa perlakukan non diskriminasi dan penyelesaian sengketa pajak yang tidak sesuai dengan penerapan sebagaimana dimaksud dalam persetujuan. Selain itu, P3B mengakomodasi pula kepentingan politik dari kedua negara pihak pada persetujuan. Misalnya dengan persetujuan ini diharapkan hubungan politik luar negeri dari kedua negara tersebut menajdi lebih erat dan harmonis. 



II.4 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) 


Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran P3B, yaitu : 


1. Pembebasan/pengecualian (exemption) 


Metode ini berupaya untuk secara total mengeliminasi P3B. Metode tersebut menghendaki suatu Negara pemegang yurisdiksi pemajakan untuk rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain. Metode ini meliputi : 

a. Pembebasan subjek, umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatik, konsuler, dan organisasi internasional. Para duta besar, anggota korps diplomatik dan konsuler, yang sesuai dengan hukum internasional, mendapat privelage pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja. 



b. Pembebasan objek, yang lebih dikenal dengan full exemption diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara tersebut. Karena penghasilan luar negeri dikeluarkan dari basis penghitungan pajak atas penghasilan global, maka secara wajar, kerugian juga dikeluarkan sebagai pengurang basis penghitungan pajak. 

c. Pembebasan pajak, pada prinsipnya penghasilan luar negeri dibebaskan dari pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila Negara residen memberlakukan tarif sepadan (proposional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif apabila penghasilan luar negeri negative, karena kerugian tersebut merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan antara metode pembebasan penghasilan dengan pembebasan pajak. Pengaruh progresif akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif. 



Misalnya: 

Tuan Wili, penduduk negara A, memperoleh penghasilan bersih 



Rp.100,000,000,- Penghasilan dalam negeri Rp. 40,000,000,- penghasilan 



luar negeri Rp. 60,000,000,- Negara A menerapkan tarif progresif yaitu, 10 



% atas penghasilan bersih sampai dengan 25,000,000,-, 20 % atas penghasilan diatas Rp. 25,000,000 sampai dengan Rp. 50,000,000,-, 30 % atas penghasilan di atas Rp. 50,000,000,-. Apabila negara itu menerapkan metode pembebasan penuh maka pajak terutang atas penghasilan yang diperoleh Tn Wili adalah: 



Tarif Pogresif 


10 % X 25,000,000,- = Rp. 4,000,000,- 


20 % X 15,000,000,- = Rp. 1,500,000,- Jumlah Rp. 5,500,000,- 

Diklasifkasikan sebagai metode pembebasan progresif apabila penghasilan yang berasal dari luar negeri turut diperhitungkan dengan penghasilan dalam negeri hanya untuk tujuan penentuan tarif pajak dakam rangka menentukan besarnya pajak yang terutang atas penghasilan dari dalam negeri. Apabila contoh diambil dari kasus Tn Satoru, maka pajak terutang atas penghasilan yang diperolehnya adalah 30 % X 40,000,000,- = Rp. 12,000,000,- 



2. Kredit Pajak 


Beda dengan metode eksemsi (yang mengeliminasi penghasilan luar negeri dari basis pengenaan atau pemajakan dengan memperhitungkan penghasilan terhadap penghasilan income against income), metode kredit memberikan keringanan atau eliminasi PBI dengan cara mengkreditkan (mengurangkan atau mengimputasikan) pajak luar negeri terhadap pajak penghasilan global yang merupakan porsi penghasilan luar negeri. 



Beberapa varian dari metode kredit, antara lain : 


a. Kredit penuh, mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan terhadap penghasilan dimaksud. Metode ini sangat jarang negara yang memberlakukan metode kredit penuh. 



Misalnya, Tn Wolo, penduduk negara B memperoleh penghasilan dari luar negeri sebesar Rp. 100,000,000,- dan telah dikanakan pajak di luar negeri sebesar 40% dari jumlah bruto sebesar Rp. 40,000,000,-. Selain itu, Tn Wolo memperoleh penghasilan yang berasal dari dalam negeri sebesar Rp. 100,000,00,- 



Negara B menerapkan tarif progresif, 10 % atas penghasilan bersih sampai dengan Rp. 20,000,000,-, 20 % atas penghasilan di atas Rp. 

20,000,000,- sampai dengan Rp. 40,000,000,-, 40 % atas penghasilan di atas Rp. 40,000,000,-. 



Tarif Progresif 


10 % X 20,000,000,- = Rp. 2,000,000,- 


20 % X 50,000,000,- = Rp. 10,000,000,- 

40 % X 140,000,000,- = Rp. 56,000,000,- 



Jumlah Rp. 66,000,000,- 


Sehubungan dengan metode pengkreditan penuh, atas seluruh pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri sebesar Rp. 40,000,000,- oleh Tn Wolo dapat diperhitungkan senagai kredit pajak atas yang terutang diakhir tahun. 



b. Kredit pajak biasa, memberikan keringan pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri terhadap pajak nasioanl dengan batasan jumlah yang terendah antara pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri dan pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global. 



Misalnya, PT. AB memperoleh penghasilan bersih dalam satu tahun pajak sebesar Rp. 1,000,000,000,- yang terdiri dari Rp. 500,000,000,- dari luar negeri dan sisanya Rp. 500,000,000,- diperoleh dari kegiatan dalam negeri. Atas penghasilan dari luar negeri itu telah dikenakan pajak pajak 

50% atau sebesar Rp. 250,000,000,- Jumlah pajak yang dibayar diluar negeri dapat dikreditkan di Indonesia adalah sebesar Rp. 145,625,000,- yaitu sebesar batas maksimum yang diperkenankan sesuai dengan pasal 

24 undang – undang PPh yang berlaku di Indonesia. Besarnya batas maksimum yang diperkenankan sesuai pasal 24 undang-undang PPh di atas ditentukan berdasarkan ratio penghasilan luar negeri dengan penghasilan kena pajak dikalikan PPh terutang. 


3. Metode Fiktif (tax sparing) 


Insentif pajak yang diperoleh dari luar negeri oleh penduduk dari suatu negara yang dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak atas pajak yang terutang di negara itu. Umumnya insentif pajak diberikan oleh Negara-negara berkembang untuk menarik investor dari Negara-negara maju. Insentif pajak dimaksud berupa pembebasan pajak (tax holiday) atau pajak ditanggung pemerintah (tax borne by government). Agar insentif pajak itu efektif dan bermaanfaat bagi investor maka negara maju tempat si investor berdomisili memberikan tax sparing. Apabila negara tidak memberikan tax sparing maka insentif pajak tersebut akan dinikmati oleh negara itu dan bukan oleh investor. Dengan kata lain, negara berkembang memberikan subsidi pajak kepada negara maju tidak menerapkan tax sparing rule.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda "

Post a Comment