Guru dan Kepala Lembaga Pendidikan sebagai Pemimpin Transformasional.
BEBERAPA PERSYARATAN UNTUK PENINGKATAN KONTRIBUSI PENDIDIKAN
FORMAL DALAM PEMBANGUN KARAKTER.
Perubahan Model-mental Pembangunan Indonesia.
Ketiadaan atau kurangnya dana selama ini telah dijadikan alasan klasik dari
sumber kesulitan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Saya
berpendapat bahwa rendahnya anggaran untuk pendidikan di Indonesia selama lebih dari tiga dekade , kurangnya perahatian
terhadap perbaikan mutu dan kesejahteraan guru adalah akibat dari suatu
’keadaan’ yang lebih mendasar. Anggaran pendidikan bukanlah akar masalah
pendidikan. Akarnya terletak pada model-mental pembangunan yang dipegang
selama ini . Secara singkat
model-mental adalah ’internal picture of
the world’ [2]. Istilah model-mental
mengacu pada dua hal, yaitu ‘peta’ tentang dunia atau realitas, yang bersifat semi permanen, yang ada pada ingatan jangka panjang
seseorang, dan persepsi jangka pendek yang dikembangkan oleh
seseorang sebagai bagian dari proses penalaran sehari-hari[3]. Model-mental ini
bisa berbentuk kerangka teori, asumsi, atau persepsi. Kapitalisme dan komunisme
adalah dua model-mental yang sangat berbeda (bahkan antagonistik) mengenai
kesejahteraan manusia. Demikian model-mentalnya berbeda maka kebijakan yang
dikeluarkanpun akan sangat berbeda, termasuk kebijakan pengalokasian anggaran.
.Selama ini, cara pandang atau model-mental yang
diterapkan memperlakukan pengembangan
kualitas manusia dan masyarakat hanya sebagai salah satu sektor pembangunan
saja. Model-mental pembangunan yang diperlukan
adalah memposisikan pengembangan kualitas manusia dan masyarakat sebagai inti
atau poros penggerak , atau penghela dan pendorong utama dari kemajuan
bangsa ini di masa depan. Dalam cara pandang seperti ini pembangunan
industri berarti membangun masyarakat industri dalam arti masyarakat yang
cerdas secara teknologi, produktif, sedia bekerja keras, bukan hanya
membangun pabrik-pabrik secara fisik. Demikian
juga pembanguan pariwisata berarti usaha membangun masyarakat yang kreatif,
punya jati diri budaya, punya kebiasaan hidup bersih, terbuka, dan bisa menjadi pelaku utanma dan memanfaatkan
peluang dari kemajuan pariwisata dunia, bukan hanya pembanguan hotel-hotel dan
menjadikan masyarakat hanya sebagai obyek wisata. Model mental pembanguna yang
berpusat pada kualitas manusia inilah yang menjadi darasr kebijakan yang
menyebabkan negara-negara seperti Malaysia dan Korean mengalokasikan anggaran
untuk investasi besar-besaran dalam peningkatan kualitas manusia melalui
pendidikan.
Dengan cara pandang baru ini, maka
manusia dan masyarakat bukan hanya sumber daya yang diperlakukan seperti
sumberdaya lainnya, namun manusia adalah insan yang utuh, subyek pembangunan
(bukan obyek pembangunan) , dan masyarakat adalah komunitas-insani. Dalam cara
pandang ini, pendidikan tidak hanya mengembangkan kompetensi, namun yang tidak
kalah pentingnya adalah mengembangkan hal-hal yang melampaui kompetensi seperti karakter, cita-cita , semangat, dan kepekaan
nurani. Pada masyarakat yang sedang dalam proses transisi seperti di Indonesia
sekarang ini, masih banyak masalah yang dihadapi dalam
penegakaan hukum dan keadilan, sistem-sistem pemerintahaan belum dikembangkan
dengan baik, aturan main dalam bisnis masih harus di tata. Dalam keadaan
seperti itu, peran karakter sangat
penting. Lubang-lubang untuk korupsi dan perbuatan yang merugikan masyarakat
lainnya masih sangat banyak. Sebab itu
negara memerlukan masyarakat yang
anggotanya punya karakter kuat dan baik. Anggota masyarakat seperti ini akan
tidak mudah tergoda untuk memcari atau memanfaatkan kelemahan dalam
sistem-sistem yang ada untuk melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat. .
Perubahan dalam Ukuran
Keberhasilan Pendidikan.
Agar pendidikan formal lebih besar perannya dalam pengembangan karakter maka
ukuran keberhasilan dalam melaksanakan pendidikan haruslah memasukan
dimensikarakter didalamnya. Sekarang ini ukuran keberhasilan yang diterjemahkan
dalam evaluasi hasil pendidikan boleh
dikatakan hanya menyertakan unsur-unsur kompetensi tertentu saja. Ujian
Nasional yang berlaku sekarang ini, secara implisit diartikan bahwa
keberhasilan pendidikan pada tingkat sekolah menengah atas hanya ditentukan
oleh nilai dalam tiga mata pelajaran saja, yaitu nilai mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Hal yang serupa terjadi juga di banyak perguruan tinggi. Pimpinan dan para
staf akademik sebuah perguruan tinggi terkemuka mengeluh bahwa lulusannya
sangat kurang dalam soft skill,
seperti kurang bisa bekerja-sama dalam tim, kurang empati, sangat egosentris,
cenderung arogan, dan mau menang sendiri. Keluhan ini sebenarnya tidak perlu
dikemukakan, karena di perguruan tinggi ini ukuran keberhasilan adalah selesai
tepat waktu dan IP yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa selesai tepat waktu dan
IP yang tinggi itu tidak perlu; kedua hal tersebut memang perlu. Namun, apabila
hanya kriteria itu yang dipentingkan, maka jangan heran bahwa lulusannya kurang
bisa bergaul, banyak yang tidak jujur, atau menjadi pengusaha yang tanpa
tanggung jawab sosial. Di pihak lain, ada perguruan tinggi yang pada waktu
wisuda memberikan piagam penghargaan kepada mahasiswa yang prestasi akademiknya
tinggi, dan juga kepada para mahasiswa yang prestasinya dalam melakukan
pelayanan kepada masyarakat sangat baik. Cara penghargaan seperti ini secara
langsung menyampaikan pesan kepada para mahasiswa bahwa pintar secara akademik
itu penting, namun juga tidak kalah pentingnya adalah berkontribusi untuk
kesejahteraan orang banyak. Selama dimensi karakter tidak menjadi bagian dari
kriteria keberhasilan dalam pendidikan, selama itu pendidikan tidak akan
berkontribusi banyak dalam pembangunan karakter.
Perubahan Cara Pandang
Mengenai Sekolah: Sekolah Adalah Sebuah Komunitas, Bukan Mesin Atau Pabrik.
Disadari atau tidak, banyak pihak memandang atau memperlakukan sekolah
sebagai sebuah pabrik. Para murid dipandang sebagai bahan baku atau input yang
diolah dalam sebuah proses yang dilakukan oleh ‘mesin-mesin’ yang bernama guru
atau dosen yang bekerja menurut sebuah program produksi yang namanya kurikulum.
Dalam konsep pabrik, ’bahan baku’ tak punya hak untuk menentukan. Mereka
ditentukan. Dosen atau pimpinan akademik bahkan menentukan seorang mahasiswa
sebaiknya masuk ke jurusan atau program studi mana. Pandangan sekolah atau perguruan
tinggi sebagai mesin ini tidak akan banyak berkontribusi dalam pembangunan
karakter, karena cara pandang seperti ini membendakan manusia.
Untuk berperan dalam pembangunan karakter, sekolah atau perguruan tinggi
hendaknya dilihat sebagai komunitas insani, di mana siswa/mahasiswa, guru atau
dosen, semuanya adalah anggota komunitas yang punya tanggung jawab. Anggota
komunitas adalah orang yang punya hak untuk memilih dan bertanggung jawab atas
konsekuensi dari pilihannya. Di sini, siswa atau mahasiswa tidak diperlakukan
sebagai sederet gelas kosong untuk diisi dengan cara yang seragam, namun
diperlakukan sebagai individu yang memiliki potensi keunggulan yang beragam.
Komunitas akan menjadi persemaian agar keunggulan ini mekar dan tumbuh subur. Dalam sebuah komunitas, kualitas dan
intensitas interaksi diantara anggota komunitas sangat penting. Di samping itu,
sebuah komunitas punya tata-nilai yang wajib dijadikan pedoman oleh semua
anggota komunitas. Pada sebuah komunitas, para anggotanya belajar membedakan
yang baik dari yang tidak baik, yang pantas dari yang tidak pantas. Dalam
sebuah komunitas orang belajar norma-norma sosial, yang dapat menjadi salah
satu sumber dalam pembentukan karakter seseorang.
Guru dan Kepala Lembaga
Pendidikan sebagai Pemimpin Transformasional.
Pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi tidak akan banyak
berkontribusi pada pembangunan karakter apabila kepala lembaga pendidikan hanya
melihat perannya dan melakukan tugas sebagai administrator, dan guru atau
pengajar hanya melihat peran dan melakukan tugasnya hanya sebagai pengalih
pengetahuan. Pendidikan untuk pembangunan karakter memerlukan pimpinan lembaga
pendidikan dan pengajar yang juga berperan sebagai pemimpin transformasional,
dan sebagai pembangun komunitas.
Sebagai pemimpin transformasional, kepala lembaga pendidikan dan pengajar
mengambangkan substansi, proses dan suasana belajar yang mencerahkan,
menumbuhkan inspirasi, mengembangkan kepercayaan diri, menunjukkan
kepedulian, dan menggugah siswa atau
mahasiswa untuk merumuskan atau menetapkan prinsip dan cita-cita hidup mereka
masing-masing. Para pengajar mendorong para siswa atau mahasiswa untuk
mengidentifikasikan atau memikirkan hal-hal yang berarti atau bermakna dalam
kehidupan mereka.
Sebagai pembangun komunitas, kepala lembaga pendidikan dan pengajar
berperan sebagai perekat, sebagai fasilitator, dalam meningkatkan kualitas dan
intensitas interaksi diantara sesama anggota komunitas. Mereka perlu memberi
perhatian pada pengembangan suasana atau iklim belajar yang mendorong dan
memudahkan para siswa atau mahasiswa memunculkan potensi terbaik yang mereka
miliki.
0 Response to " Guru dan Kepala Lembaga Pendidikan sebagai Pemimpin Transformasional."
Post a Comment